Rabu, 12 Juni 2019

PERLUKAH TIDUR SIANG?

Sebelum mondok, tidur siang bukanlah kebiasaan saya, selain karena saat siang itu saya harus sekolah, tidur siang tidak begitu perlu menurut sasya. saat liburpun aku tidak terbiasa untuk tidur siang.

Banyak orang bilang, agar tubuh menjadi sehat dan fresh, maka harus dirutinkan untuk tidur siang, tapi ujaran-ujaran itu, tidak kemudian lantas menggugah saya untuk selalu tidur siang, sampai beberapa waktu berlalu.

Kebiasaan tidur siang mulai muncul saat masuk pesantren, sebagai santri,  semua harus mentaati jadwal yang telah ditata rapi oleh pengurus. Semua santri wajib mengikuti jadwal itu, jika tidak, bakal dipastikan kegiatannya akan berjalan amburadul. Waktunya tidur ia makan, saat makan ia belajar, ketika belajar ia tidur, semua menjadi kacau.

Pertama kali mengikuti jadwal itu sebenarnya saya cukup kesulitan, saat tidur siang saya tetap terjaga meski badan telah direbahkan dan mata dipejamkan, pikiran berkeliaran ke mana-mana.

Namun setelah berjalan beberapa waktu, sambil dipaksa, tidur siang agaknya sudah menjadi kebiasaan dan mulai rutin saya lakukan, bahkan jika dalam waktu-waktu tertentu tidak tidur siang, kepala terasa sangat pusing dan dapat hilang hanya dengan tidur siang.

Pada awalnya saya sedikit berontak, mengapa semua santri harus tidur siang?. Jawaban dari pemberontakan hati saya itu sebenarnya sudah terjawab secara real melalui kegiatan-kegiatan yang dijalankan dalam pesantren.

Aktivitas pesantren dimulai sejak pukul 04.30 dan berakhir secara resmi pukul 22.00 malam. Itu artinya setiap santri dituntut memiliki tenaga yang full untuk menjalankan itu semua, ibarat HP, baterai untuk menjalankan itu harus di carge secara berkala, tidur siang diibaratkan carge para santri untuk mengisi tenaga agar bisa kuat sampai kegiatan nanti malam.

Dan pada akhirnya kebiasaan tidur siang terbawa sampai ke rumah, meski saya sudah boyong atau tidak mukim di pondok lagi.

Pada awalnya fine-fine saja, namun lama kelamaan kebiasaan tidur siang mulai janggal aku lakukan, sebab aktivitas di rumah sudah tidak sepadat seperti saat di pesantren dulu. Pukul 21.00 malam di rumah sudah pada tidur termasuk istri dan anak saya, lingkungan juga sudah mulai sepi, lama kelamaan aku terpengaruh dan terbawa dengan hal itu dan ikut-ikutan tidur di waktu yang termasuk kategori sore saat di pondok.

Maka saya berpikir, waktu tidur saya terlalu panjang. Kalau saya malam tidur jam sekian, dan baru bangun saat adzan shubuh, masak siang juga harus tidur? Ini tidak bisa dibiarkan, saya harus merubahnya.

Cukup sulit memang membiasakan lagi untuk tidak biasa tidur siang. Harus mulai menata dan membiasakan sebagaimana saat di pondok dulu.

Kadang untuk menyemangati kala kendur dan tergoda untuk tidur siang, dengan berperang melawan pikiran, "di luaran sana, waktu siang seperti ini berjalan produktif, digunakan untuk belajar menghasilkan ilmu, bekerja menghasilkan uang, bergaul menghasilkan teman dan jaringan, jalan-jalan menghasilkan pengalaman dan kegiatan lainnya" kenapa saya enak-enakan tidur. Padahal nanti sore juga tidurnya nggak malam-malam amat, kritikku melawan diri.

Sama seperti saat di pondok, pembiasaan untuk tidak tidur siang juga cukup menyiksa, bahkan saya harus melawan rasa pusing kepala jika memaksa untuk tetap terjaga di siang hari. Namun karena dilawan secara terus menerus, kebiasaan tidak tidur siang mulai terbiasa lagi dan waktu yang ada bisa digunakan untuk penyaluran hobi, persiapan mengajar di kampus dan aktivitas positif lainnya.

PENGALAMAN PERTAMA NONGKRONG DI WARUNG KOPI


Sebelumnya pernah muncul perasaan heran di benak saya, mengapa keberadaan warung-warung kopi kini menjamur, dan kebanyakan dipenuhi oleh anak-anak muda yang asyik nongkrong sama teman-temannya. Mereka betah berlama-lama menghabiskan waktu di tempat tersebut entah apa saja yang dilakukan.

Dari secangkir kopi yang dipesan, mereka bisa berjam-jam duduk di warung tersebut, dan seolah sudah menjadi aturan umum, setiap warung kopi menyediakan jaringan wifi, tv, full musik dan dilengkapi dengan beragam jenis makanan ringan.

Dan malam itu, setelah menghadiri acara bukber bersama salah satu kawan saya di ex lokasi KKN kampus tempat kita mengajar, teman saya menawarkan untuk ngopi dulu sebelum pulang, ajakan itu saya iyakan mengingat banyak topik dan tema yang ingin saya obrolkan dengan teman saya itu, maklum, ia orang super sibuk.

Seperempat jam perjalanan sambil cari tempat yang pas dan strategis, sehingga akhirnya ketemulah warung kopi di sebelah jalan sebelum jalan protokol, sepintas kelihatannya tempatnya nyaman, tidak begitu ramai. Dan akhirnya kami sepakat nongkrong di situ.

Teman saya memesan dua cangkir kopi jahe yang dalam daftar papan menu dipatok dengan harga 4K percangkirnya, setelah ambil empat kacang dengan dua varian rasa, kami memilih tempat duduk di area dalam sebelah pintu keluar.

Fasilitas wifi yang disediakan sengaja tidak kami gunakan. Di seberang terlihat tiga anak laki-laki di dampingi sang ayah yang lagi seru dan asyik main hape ditemani es Joshua dan es jeruk manis. Entah apa yang mereka mainkan, mungkin game online dengan wifi yang warung sediakan.

Topik yang bergonta-ganti menjadi tema obrolan kami mulai dari kampus tempat teman saya bekerja, kampus kami, sekolah pagi tempat saya bekerja, lokasi dampingan di salah satu wilayah Gondang, bisnis dan sampai pada aplikasi-aplikasi yang dipakai.

Obrolan semakin dalam dan intens setelah dua cangkir kopi pesanan kami datang diantar pemilik warung, seorang pemuda dengan potongan rambut mohaks dan diberi pewarna merah. Kalau saya terka mungkin usianya 21 sampai 23 tahunanlah. Ia bekerja seorang diri.

Rasa kopi cukup memuaskan dan representatif menemani bincang-bincang kami yang semakin mengasyikkan yang juga ditemani siaran televisi LCD menempel di tembok belakang kasir dan tempat penyajian yang menjadi satu. Tayangan tentang moto GP yang kurang begitu saya pahami sesekali mengalihkan pandangan saya pada tv tersebut.

Tanpa terasa, jarum jam tengah menunjuk pada angka delapan lebih lima menit, itu artinya kami sudah ngobrol panjang di warung tersebut sekitar satu jam setengah. Dan sebuah fakta mematahkan sasumsi dan penasaran saya selama ini, mengapa para pemuda yang hobi nongkrong di warung-warung bisa sampai berjam-jam di sana, ternyata mereka memiliki aktivitas yang cukup banyak juga.

Namun yang perlu ada evaluasi adalah bagaimana waktu yang benar-benar lama tersebut jangan sampai terbuang sia-sia. Kesempatan nongkrong dapat disalurkan pada hal-hal yang produktif dan positif yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri namun juga orang lain.
@myh