Rasa itu saya patri dalam-dalam di lubuk hati, pikiran dan otak bawah sadar saya, setiap hari aku harus menulis, entah bagaimana bentuk yang dihasilkan, setiap hari aku harus menulis, ya, setiap hari.
Hati saya seolah "terlukai" setelah penulis pemula tak berbakat seperti saya dengan penuh harap meminta pendapat untuk dikoreksi pada salah seorang senior, namun yang saya dapatkan hanyalah penghinaan yang merendahkan, tanpa ada masukan, ilmu atau koreksi kontennya. Jika dilihat dari gelagatnya sangatlah tampak sikap meremehkan sebuah karya seorang pemula dengan sedikit tertawa merendahkan.
Sikap timbal balik itu seharusnya tidak muncul dari seorang senior atau guru yang benar-benar mengharapkan akan banyak pemula yang mengikuti jejaknya, kecuali jika ia tidak ingin banyak penulis baru yang ingin belajar menjadi penulis agar ia saja yang menjadi seorang penulis di lingkungannya, jika memang benar demikian, maka kompetensi pedagogik nya sangatlah lemah.
Walhasil, dari permintaan untuk mengoreksi coretan saya dalam bentuk opini melalui japri pada senior yang sudah saya anggap guru tersebut tidak mendapatkan ilmu sama sekali, malahan seperti sabetan pisau tajam yang membuat luka menganga di dalam hati.
Sebenarnya bukan satu atau dua kali saya mengalami hal serupa dengan beliaunya, mulai dari pertama memasukkan beliau ke dalam grup WA menulis yang digagas teman dosen, komentarnya sudah terkesan meremehkan, tiada dukungan atau support yang kita terima, padahal tujuan utama dimasukkan grup agar dapat memberikan koreksi dan arahan bagaimana para pemula ini bisa konsisten dan tidak gampang down saat menulis dan akhirnya mandek. Menutup telinga kami ambil saat itu dan benar saja, grup kita konsisten selama satu bulan bisa menghasilkan minimal satu "karya" perhari.
Kejadian berulang saat saya dan beberapa rekan mahasiswa dengan iseng mengajukan konsep latihan literasi kepada beliau, lagi-lagi bukan dukungan dan arahan bagaimana agar kami semangat melanjutkan, malah mendapat kritikan pedas dan mementahkan semua konsep dan rancangan untuk melangkah, seketika energi kami langsung surut.
Oke fine, aku harus menjadi penulis hebat seperti beliau, atau bahkan lebih dari beliau, agar nanti jika ada yang mau belajar bareng, saya bisa menjelaskan dengan detail dan rinci apa yang dibutuhkan, sekaligus saya ukur kompetensi dan kemampuan mereka, sehingga konsep yang ditawarkan tidak sampai menjadikan muntah dan sakit karena dosis yang diberikan terlalu tinggi.
Masih banyak teman-teman sekaliber beliau yang juga giat dalam dunia tulis menulis dan mau berbagi ilmu dan semangatnya kepada saya, sehingga kesemangatan untuk konsisten menulis senantiasa terjaga. Mereka kayaknya memiliki prinsip Saya hanyalah ...., Bukan lagi saya adalah ....
Biarlah pengalaman pahit itu saya gunakan sebagai batu loncatan dan cambuk penyemangat untuk menuju pada level yang lebih baik dengan terus semangat belajar dan praktik menulis setiap hari.
@myh