Tersenyumlah!, teguran itu kerap sekali menghampiri saya, entah dari sahabat, kolega kerja atau beberapa orang yang perhatian dengan saya, terima kasih atas perhatiannya.
Karakter saya memang sulit untuk tersenyum, terutama dalam kondisi berpikir serius, efeknya bisa menjalar hingga ke muka, terlihat masam bahkan kadang terlihat garang.
Kondisi ini benar-benar saya sadari, dan faktanya memang demikian, tidak sedikit saat tertangkap kamera secara hidden, wajah saya terpotret muram, sungguh mengenaskan.
Melihat kondisi ini, sebenarnya saya tidak tinggal diam, saya menyikapinya dengan banyak hal, di antaranya dengan banyak baca literatur dan artikel berkaitan dengan itu, bahkan tidak jarang saya harus ngobrol dengan gaya full senyum di depan cermin kamar saya, terlihat banget kan upayanya?
Karena pekerjaan saya banyak berhubungan dengan banyak orang, mau tidak mau kondisi ini harus dirubah, karena itu bagian dari pra syarat komunikasi, agar komunikan merasa nyaman berinteraksi dengan kita.
Saking kerasnya upaya saya merubah karakter ini, sampai-sampai kadang saya merasa ini bukan saya yang sebenarnya. Tebar senyum seolah topeng yang harus saya pasang kapanpun dan di manapun.
Namun jika perasaan ini datang menghampiri, dengan segera saya menepisnya, karena memang tersenyum harus selalu ditampilkan dan menyungging di bibir ini.
Untuk sekedar menguatkan dalam persepsi saya, senyum dapat digunakan sebagai upaya sedekah ringan tanpa modal yang perlu dikeluarkan. Karena selain berdampak senang pada yang melihat, juga terasa sekali berpengaruh terhadap kondisi mental dan psikologi saya.
Selain itu, dengan selalu senyum ini saya gunakan sebagai tabir kondisi hati jika sedang sedih, karena itu tak perlu ditampakkan pada orang lain, cukup dicurhatkan pada Sang manajemen hidup kita, Allah Ta'ala.
Baron, 27/03/2023