Rabu, 22 April 2020

MELIBATKAN DIRI PADA KEGIATAN KEMASYARAKATAN


Beberapa waktu yang lalu, saat penulis hendak pergi menjenguk saudara ke pondok pada sore hari, penulis melewati depan kantor desa, dan kebetulan di sana ada salah satu guru PNS kenalan saya yang sedang jaga siaga covid 19, seketika pemandangan itu seolah membentak hati penulis, "Kenapa kamu tidak terlibat di sana?". padahal profesi serta latar belakang pendidikan juga hampir sama.

Sampai beberapa waktu berikutnya, penulis merasa gelisah dengan bentakan itu, entah mengapa tidak seperti biasanya, rasanya untuk kali ini betul-betul membuat hati dan pikiran saya terhentak, "Untuk berikutnya kamu harus ikut". desak penulis dalam hati.

Penulis berketetapan hati, untuk pemilu berikutnya penulis harus benar-benar terlibat minimal di tingkat RT dan RW lingkungan tempat penulis tinggal, entah jadi KPPS atau terjun di Bawaslu nya, yang penting adalah masuk pada bagian dari proses demokrasi tingkat desa.

Rasanya, mulai kini penulis harus banyak melakukan pendekatan-pendekatan terhadap beberapa orang-orang penting dan perangkat untuk mewujudkan impian penulis, apalagi didukung pak RT dan perangkat desa yang cukup aktif juga ada di lingkungan penulis dan termasuk anggota jamaah tahlil yang penulis ikuti, setidaknya satu dua jalan sudah mulai terbuka, tinggal melakukan langkah-langkah selanjutnya.

Selain itu, penulis kayaknya juga harus sering muncul di khalayak ramai, seperti kegiatan-kegiatan baik tingkat RT maupun tingkat desa. Kerja bhakti, acara keagamaan, kondangan bahkan takziyah yang tidak biasa penulis ikuti. Kalau lebih banyak muncul, mungkin orang-orang akan banyak mengenal dan tahu kemampuan penulis bidang apa untuk pengabdian pada lingkungan masyarakat sekitar.

Mencari pengalaman, menjadi faktor utama penulis melibatkan diri pada kegiatan masyarakat, juga sebagai eksplorasi kemampuan terhadap wadah yang benar-benar berbeda dari yang biasa penulis geluti. Selain itu, untuk menambah wawasan dan teman baru dengan bigron dan latar belakang yang berbeda bahkan bertentangan dengan penulis.

Intinya adalah belajar, mengasah kemampuan dan yang lebih ekstrim lagi adalah keluar dari zona nyaman. ya, situasi dan kondisi di mana selama ini penulis cenderung konservatif terhadap kegiatan kegiatan lingkungan yang berbasis kemasyarakatan.

Kemampuan manajerial, literasi dan sedikit publik speaking akan penulis jadikan senjata untuk "menggoda" mereka agar bisa mengajak penulis untuk bergabung pada komunitas yang menyelenggarakan pelayanan masyarakat yang lebih luas ini.

Semoga, .angan-angan dan impian ini Allah mudahkan dengan karakter dan tipikal penulis yang selalu minder, tertutup, tidak pede dan introvert ini, amin.

@myh

Minggu, 19 April 2020

AKU HARUS MENJADI PENULIS HEBAT


Rasa itu saya patri dalam-dalam di lubuk hati, pikiran dan otak bawah sadar saya, setiap hari aku harus menulis, entah bagaimana bentuk yang dihasilkan, setiap hari aku harus menulis, ya, setiap hari.

Hati saya seolah "terlukai" setelah penulis pemula tak berbakat seperti saya dengan penuh harap meminta pendapat untuk dikoreksi pada salah seorang senior, namun yang saya dapatkan hanyalah penghinaan yang merendahkan, tanpa ada masukan, ilmu atau koreksi kontennya. Jika dilihat dari gelagatnya sangatlah tampak sikap meremehkan sebuah karya seorang pemula dengan sedikit tertawa merendahkan.

Sikap timbal balik itu seharusnya tidak muncul dari seorang senior atau guru yang benar-benar mengharapkan akan banyak pemula yang mengikuti jejaknya, kecuali jika ia tidak ingin banyak penulis baru yang ingin belajar menjadi penulis agar ia saja yang menjadi seorang penulis di lingkungannya, jika memang benar demikian, maka kompetensi pedagogik nya sangatlah lemah.

Walhasil, dari permintaan untuk mengoreksi coretan saya dalam bentuk opini melalui japri pada senior yang sudah saya anggap guru tersebut tidak mendapatkan ilmu sama sekali, malahan seperti sabetan pisau tajam yang membuat luka menganga di dalam hati.

Sebenarnya bukan satu atau dua kali saya mengalami hal serupa dengan beliaunya, mulai dari pertama memasukkan beliau ke dalam grup WA menulis yang digagas teman dosen, komentarnya sudah terkesan meremehkan, tiada dukungan atau support yang kita terima, padahal tujuan utama dimasukkan grup agar dapat memberikan koreksi dan arahan bagaimana para pemula ini bisa konsisten dan tidak gampang down saat menulis dan akhirnya mandek. Menutup telinga kami ambil saat itu dan benar saja, grup kita konsisten selama satu bulan bisa menghasilkan minimal satu  "karya" perhari.

Kejadian berulang saat saya dan beberapa rekan mahasiswa dengan iseng mengajukan konsep latihan literasi kepada beliau, lagi-lagi bukan dukungan dan arahan bagaimana agar kami semangat melanjutkan, malah mendapat kritikan pedas dan mementahkan semua konsep dan rancangan untuk melangkah, seketika energi kami langsung surut.

Oke fine, aku harus menjadi penulis hebat seperti beliau, atau bahkan lebih dari beliau, agar nanti jika ada yang mau belajar bareng, saya bisa menjelaskan dengan detail dan rinci apa yang dibutuhkan, sekaligus saya ukur kompetensi dan kemampuan mereka, sehingga konsep yang ditawarkan tidak sampai menjadikan muntah dan sakit karena dosis yang diberikan terlalu tinggi.

Masih banyak teman-teman sekaliber beliau yang juga giat dalam dunia tulis menulis dan mau berbagi ilmu dan semangatnya kepada saya, sehingga kesemangatan untuk konsisten menulis senantiasa terjaga. Mereka kayaknya memiliki prinsip Saya hanyalah ...., Bukan lagi saya adalah ....

Biarlah pengalaman pahit itu saya gunakan sebagai batu loncatan dan cambuk penyemangat untuk menuju pada level yang lebih baik dengan terus semangat belajar dan praktik menulis setiap hari.

@myh

Jumat, 17 April 2020

BAKSO ORA ENAK, Antara Kualitas dan Kuantitas

Turun dari bus jalan raya Nganjuk-Surabaya menuju sebuah halte sebelah stadion Baron, mata saya tertuju pada sebuah kedai bakso di sebelah jalan raya.

Namanya yang unik dan aneh sempat menarik perhatian semua orang. Iya, kedai bakso itu bernama "BAKSO ORA ENAK" tercetak lebar dalam sehelai kain menutupi bagian depan lapak. Karena namanya yang menggelitik, banyak kemudian yang penasaran dan mencoba bakso yang dijual 8000 per mangkuk plus dengan es tehnya.

Secara prinsip dan logis, berdagang kuliner adalah menjual rasa, rasa yang enak dan digemari banyak orang akan menjadi tujuan utama penjual kuliner tersebut termasuk di antaranya bakso. Jadi tidak mungkin penjual mengkampanyekan kalau dagangan yang dijual belikan memiliki rasa tidak enak.

Namun penjual bakso di dekat halte Baron itu tidak mengambil sikap demikian, ia menangkap target agar konsumen dibuat penasaran dengan lebel nama di lapaknya, sehingga konsumen pun mau mencoba rasa dari bakso tersebut.

Sebenarnya perlu untuk digaris bawahi dari langkah yang diambil oleh penjual tersebut, satu sisi dinilai bagus, karena dalam berjualan pemilik kedai tidak asal jual, namun ada manajemen dan strategi yang dijalankan, itu berarti segala hal yang dijalankan telah melalui proses manajerial minimal perencanaan dan evaluasi.

Akan tetapi sekali lagi, berdagang bakso adalah jualan rasa, jika target hanya membuat konsumen penasaran dan tidak diimbangi dengan kualitas rasa dari produk yang dijual, maka sekali coba dijamin pembeli tidak akan kembali lagi, karena rasa penasaran sudah terbayar.

Namun jika rasa dari bakso tersebut memang benar-benar istimewa, maka penjual benar-benar berhasil membuat konsep penjualan yang baik, jika sudah demikian penjual baru akan berdatangan dan pelanggan setia tidak akan berpindah ke lain hati.

Lalu bagaimana dengan rasa "Bakso Ora Enak" di sebelah halte stadion Baron?, Entahlah .... sampai kini, penulis juga belum tahu, karena belum pernah tergoda untuk makan di kedai itu.

@myh