Kerap terjadi saat proses PPDB di tingkat salafiyah adalah kondisi di mana siswa turun ke kelas yang dituju berdasarkan kemampuan melalui jalur tes.
Dan tak jarang, ekspresi calon siswa atau bahkan orang tua berubah seketika kala mendengar informasi awal harus "turun kelas" dari petugas pendaftaran, terlebih calon santri. Di tengah jelang adaptasi, harus menerima "justice sosial" berupa "turun kelas".
Sebuah respon yang wajar mengingat kondisi yang ada dibenak calon siswa dan juga orang tua adalah kondisi real di rumah, setamat dari SD/MI maka jenjang selanjutnya adalah MTs.
Siswa yang hendak masuk di kelas jenis salafiyah hampir dipastikan semuanya bakal "turun kelas", kendati para siswa yang berasal dari madrasah Krempyang sekalipun.
Tepatkah terma "turun kelas" dipakai di sana? yang kerap kali membikin gamang calon santri yang hendak masuk ke madrasah salafiyah? Mari kita bedah!
Nama tingkatan yang dipakai baik salafiyah maupun kurikulum kemenag adalah sama, sama-sama MI dan MTs, hanya tingkat MA dan MU saja yang beda, dari perbedaan di tingkat atas inilah bisa dijadikan barometer.
MI salaf dan MI kurikulum Kemenag adalah sama dalam istilah namun beda dalam materi, kurikulum, tuntutan, lulusan dan juga usia. Sehingga lulusan MI kurikulum yang masuk ke MI salaf kurang pas jika dikatakan "turun kelas", karena jenjangnya pun tidak setara.
Di lingkungan Kemenag bidang PD pontren, sebenarnya telah berlaku nomenklatur yang sudah populer dan cukup familiar, yaitu tingkat ula, wustha dan ulya. Terma ketiganya juga digunakan untuk mengkategorikan tingkatan berdasarkan jenjangnya.
Di madrasah Krempyang, yang telah berlaku masih di tingkat atas saja, yaitu ulya, alangkah lebih baik juga diberlakukan di jenjang bawahnya, maka secara hierarkis akan tersusun menjadi Madrasah ula, Madrasah wustha dan Madrasah 'ulya, bukan lagi MI, Mts dan Madrasah 'Ulya.
Dengan mengacu pada lebel jenjang tersebut di atas, maka tidak ada lagi istilah "turun kelas", karena calon siswa setelah dites, kemampuan yang dimiliki akan menghantarkannya masuk ke jenjang ula, wustha atau bahkan ke ulya.
Selain itu, penggunaan istilah ula, wustha dan ulya dengan sendirinya akan mengikis pemakaian istilah "Kurikulum" pada jalur formal yang selama ini dijadikan pembeda dengan jenjang salafiyah.
Seperti diketahui, terma "kurikulum" sebagai representasi dari madrasah formal cukup membingungkan banyak orang ketika diucapkan di luar lingkungan madrasah Krempyang atau calon santri dan wali santri saat daftar sekolah dan mondok.
Maka dari itu, jika masih menggunakan istilah-istilah sebagaimana yang berlaku selama ini di madrasah, petugas harus benar-benar bisa menjelaskan kepada calon wali dan santri agar mereka bisa paham tanpa salah atau gagal paham.
Atau istilahnya bisa kita ubah, mengingat di Krempyang sudah ada tingkat Ulya di muadalahnya, maka akan sangat tepat jika bawahnya berganti Ula dan Wustha, sehingga di jenjang salafiyah berlaku tingkatan Ula, Wustha, dan Ulya.
@myh