Minggu, 16 Desember 2018

PROFESI PILIHAN HATI

sumber gambar: publik bogor

Hampir setiap tiga hari sekali, saya menemani istri tercinta untuk belanja di pasar kecamatan. Saat istri dan anak saya masuk untuk berburu barang belanjaan, saya memilih menunggu di bawah lampu merah. Ada perasaan senang dan santai saat melihat lalu lalang kendaraan serta orang-orang dengan berbagai kesibukannya, mereka fokus pada tujuannya masing-masing.

Pada saat mengamati pergerakan di jalan raya itulah pikiran saya mengembara, kadang sempat berpikir dengan beragam profesi yang ada di depan saya, dan bahkan ada rasa optimis untuk bekerja lebih giat agar bisa memiliki mobil bagus seperti yang barusan lewat. Macam-macam deh, tapi aku suka, apalagi itu aku lakukan rutin hampir tiap tiga hari sekali.

Namun ada juga yang memancing imajinasi saya tentang pilihan sebuah profesi. Dan rasanya ada pemberontakan sosial yang tengah terjadi. Tepat di bawah lampu merah, ada beberapa tukang becak yang mangkal sembari menanti penumpang yang mengambil jasanya. Kesempatan yang terbilang jarang itu mereka lakukan dengan sabar dan penuh harap setiap hari.

Di sudut yang lain terdapat seorang pria paruh baya peminta-minta, berbadan tegap namun (maaf) ada bagian tubuh yang tidak normal, yaitu di bagian kaki dan tangan, sambil merokok santai, pria berbaju hem kumal tapi bersih itu menunggu kemudian mendatangi mobil-mobil yang berhenti di lampu merah, dan itu dilakukan setiap sekitar tujuh menit sekali. Kalau dihitung-hitung setiap tujuh menit ia mendapatkan uang receh sekitar 3000 sampai 5000 rupiah, jika dilakukan setengah hari, dapat dihitung sendiri hasilnya.

Sesekali mata saya tertuju pada ekspresi para tukang becak yang melihat peminta-peminta yang sedang "bekerja" dan mendulang pendapatan yang cukup banyak dan mudah menurut tukang becak tersebut, seolah pancaran rasa iri menggurat di raut mukanya.

Pekerjaan mengemis memang tidak diambil oleh para bapak tukang becak tersebut, kendati dapat dengan mudah mendapat pundi-pundi rupiah, karena mengemis mempertaruhkan harga diri, lebel pekerjaan tanpa usaha keras, dan juga rasa "malas" yang bersembunyi dibalik keterbatasan fisik yang diberikan Sang Pencipta.

Tanpa pemikiran lebih panjang dan menjaga agar tetap berbaik sangka, mungkin pria tersebut memang tidak dapat bekerja sebagaimana manusia pada umumnya. Keterbatasan fisik yang ia miliki mungkin menuntut pekerjaan itu meski terkadang akalnya memberontak, dan beribu alasan lainnya.

Drama kehidupan yang diputar gratis tersebut hendaknya dijadikan contoh saja bagi kita-kita yang terlahir normal. Anugerah berupa kesempurnaan fisik yang kita terima semoga dapat juga mendorong kesempurnaan hati sehingga tidak hanya keren lahir tapi juga keren batin.